Kediri, koranmemo.com - Persik Kediri memiliki pelatih baru, mantan pemain Liga Profesional Indonesia dari Chile. Meski secara kepelatihan belum memiliki rekam jejak atau prestasi di kompetisi profesional Indonesia, Javier Roca memiliki faktor pembeda.
Dia menguasai Bahasa Jawa yang membuatnya lebih mudah menjalin kemistri dengan pemain.
Setelah
Persik Kediri ditinggal Joko Susilo,
Javier Roca datang mengisi posisi
Pelatih Kepala.
Secara kepelatihan namanya memang belum terlalu dikenal, tapi dalam hal pemain profesional dia sudah malang melintang di dunia sepakbola Indonesia.
Berdasarkan riwayat sepak bola profesionalnya, dia mengaku pernah memulai karir di Indonesia tahun 2003 di PSMS Medan, lalu Persibom Bolaang Mongondow 2004, Persegi Gianyar 2005. tahun 2006 bermain di Persija dan dipinjamkan ke Persitara Jakarta Utara dan kembali ke Persija tahun 2007 setengah musim.
Setengah musim 2007 dia bermain untuk Persiba Balikpapan, memperkuat Persebaya Surabaya dan Gresik di tahun 2008, Persidafon Dafonsoro musim 2009. Lalu tahun 2010 memperkuat Batavia Union FC sampai akhirnya pensiun di Persis Solo setelah bermain di musim 2011-2013.
Selama menjadi pemain bola dia memiliki beberapa prestasi seperti mengantarkan klub-klub setara Liga 2 Indonesia promosi.
“Waktu di Gianyar pertama kali saya menjadi top skor di Copa Dji Sam Su. Juara 2 dengan PSMS dan promosi Divisi Utama, dan Juara 3 di Persibom Divisi I Promosi ke Divisi Utama,” kata Roca.
Usai mengakhiri karir pemain di Indonesia dia memilih hijrah ke New York Amerika selama 1 tahun dan kembali
Chile untuk mendapatkan lisensi kepelatihan 3 tahun.
Saat di
Chile dia menangani 2 klub profesional pertama Universitas Katolik
Chile berlaga di kompetisi setara Liga 2, dan kedua Klub Deporte Santa Cruz
Chile dari kompetisi setara Liga 3 promosi ke Liga 2.
Setelah mendapatkan lisensi kepelatihan dan alasan keluarga dia kembali dan menjajaki karir kepelatihan di Indonesia.
Seperti diketahui pria berusia 44 tahun ini sudah menikah dengan Warga Negara Indonesia asal Solo tahun 2010 dan memiliki seorang putri.
“Kembali ke Indonesia tahun 2018 berkarir di EDF La Liga, ada akademi dari spanyol yang home base di Jakarta. Saya menjadi direktur teknik di sana untuk anak usia U-8 sampai U-20. Setelah itu saya ditawari ke
Persik Kediri,” tukasnya.
Proses menjadi pelatih menurutnya terjadi pada saat masuk 2 tahun menjelang pensiun. Keputusannya sebagai pelatih tidak muncul dari ego sendiri, tapi secara tiba-tiba saat masih berada di Persis Solo.
Jiwa kepelatihannya muncul saat memiliki tugas playmaker di lapangan, dia sering memberikan instruksi bagi rekan-rekan.
“Jadi selama berkarir saya sadar kemampuan saya adalah memimpin teman-teman, saya suka pas masih main atur teman-teman untuk mengatur serangan. Ini kita serang dari sana kita main dari sini,” imbuh pria asal
Chile tersebut.
Menurutnya saat berada di puncak senioritas pemain pemikiran kritis pada strategi dan latihan mulai muncul.
“Saat menjadi senior sudah merasa hebat, ya apapun materi yang diberi pelatih selalu dibahas, dalam hati ‘hah ini latihan apa’. Nah ini sudah waktunya untuk pensiun karena harus memikirkan sebagai pelatih,” tambahnya.
Meski memiliki rasa senioritas, Roca memberikan apresiasi kepada pelatih Kepala saat di Persis Solo, Almarhum Junaidi yang memberikan ruang untuk berdiskusi.
Meski sebagai pemain usulannya tetap dijadikan pertimbangan oleh pelatih saat itu.
“Waktu itu saya berterima kasih pada pelatih yang selalu mendengar saya. Saya suka baca saya suka buku dan semua yang berkaitan dengan sepakbola saya pelajari. Pada 2 tahun menjelang pensiun saya tidak hanya sebagai pemain tapi juga asisten pelatih Almarhum Bang Junaidi. Jadi seperti itu saya merasa, yoweslah kenapa tidak jadi pelatih saja,” paparnya.
Meski demikian dia tahu jika memutuskan menjadi pelatih memiliki risiko besar dibandingkan menjadi seorang pemain. Sebab dia harus memimpin 1 tim dan harus menyenangkan ratusan ribu suporter.
“Pada prinsipnya paling enak adalah menjadi pemain bola. Saat menjadi pelatih tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar,” katanya.
Meski baru dalam dunia kepelatihan Liga Indonesia, Roca memiliki karakter yang terbentuk selama 10 tahun berkarir profesional.
Dia memiliki kemampuan dalam segi bahasa, tidak hanya bahasa Inggris dan Spanyol tapi juga bahasa lokal.
“Saya menguasai Bahasa Inggris, Spanyol, Indonesia, dan Jawa sitik-sitik (sedikit-sedikit),” tukasnya menggunakan logat jawa.
Lamanya berkarir di Indonesia serta memiliki seorang istri asli Jawa yang berdomisili di Solo Jawa Tengah membuatnya lebih mudah mengerti bahasa Jawa. Bahkan dia sering menyampaikan ‘Aku
Wong Jowo’ dalam sela-sela wawancara.
Karena unggul dalam bahasa menjadikan faktor pembeda dengan pelatih luar negeri lain. Pemain jawa khususnya lebih memahami pendekatan yang dilakukan dengan bahasa yang digunakan sejak lahir.
“Saya tahu anak-anak ini orang jawa, jadi saat latihan saya beri bahasa jawa dikit, jadi secara pendekatan bisa lebih hangat,” jelasnya.
Melalui kemampuan yang dimilikinya, Roca juga berpendapat mengenai anggapan publik jika
Persik mempertaruhkan timnya pada pelatih asing yang baru terjun di kompetisi profesional Indonesia.
"Kalau kita bicara soal pertaruhan, orang bilang (mendatangkan pelatih) Roca adalah perjudian karena dia belum pernah pegang tim, yowes bener tenan iki,” tukasnya.
“Tapi apakah tidak lebih berisiko mempertaruhkan tim dengan mendatangkan pelatih dari luar negeri dengan bahasa terbatas, makanan, komunikasi, ambiental di cuaca, ambiental di permainan sepakbola dan sebagainya, menurut saya perjudiannya di situ,” lanjutnya.
Dengan karakter dan cara melatih pemain sesuai ciri khasnya dia akan berusaha mengembangkan permainan
Persik Kediri. Dia meminta dukungan publik khususnya pada klub karena banyak pemain yang merupakan putra asli daerah sendiri.
“Sekarang bagaimana caranya kami bawa satu permainan dalam lapangan itu beda ceritanya,” pungkasnya.